ArticlePDF AvailableAbstractOrnament and decorative arts of Nusantara traditional architecture are works of art originating from Austronesian culture. Besides functioning as decoration, it is also as a bearer of meaningful traditional messages in a sign system. How its existence and development as a visual language from the point of view of semiotics is interesting to study. This paper examines the relationships between signs in the system of sign contained in the ornament and decorative arts of Nusantara traditional architecture. The discussion includes; 1 analysis of the triadic relation from sign systems of the ornaments and decorative arts, 2 analysis of the pragmatic relations of the visual works and the way they work in the system of sign as visual language, and 3 diachronic analysis of the form and function of the ornaments and decorative arts in the system of sign. The result obtained is a form of appreciation of the art tradition which revealed the existence of the Nusantara traditional architectural ornament and decorative art as a sign of cultural evolution and the media for conveying messages from traditional customs. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. PURBAWIDYA Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN 2252-3758, e-ISSN 2528-3618 Terakreditasi Kementerian Ristekdikti No. 147/M/KPT/2020 Vol. 9 2, November 2020, pp 183 – 198 DOI 183 KAJIAN SEMIOTIKA ORNAMEN DAN RAGAM HIAS AUSTRONESIA PADA ARSITEKTUR TRADISIONAL NUSANTARAStudy of Semiotics of Austronesian Ornament and Decorative Arts in Nusantara Traditional Architecture Doni Fireza dan Adli Nadia Program Studi Arsitektur, Universitas Agung Podomoro APL Tower Lt. 5, Jalan Letjen S. Parman Kav 28, Jakarta Barat E-mail Naskah diterima 20 Maret 2020 - Revisi terakhir 10 April 2020 Disetujui terbit 15 November 2020 - Tersedia secara online 30 November 2020 Abstract Ornament and decorative arts of Nusantara traditional architecture are works of art originating from Austronesian culture. Besides functioning as decoration, it is also as a bearer of meaningful traditional messages in a sign system. How its existence and development as a visual language from the point of view of semiotics is interesting to study. This paper examines the relationships between signs in the system of sign contained in the ornament and decorative arts of Nusantara traditional architecture. The discussion includes; 1 analysis of the triadic relation from sign systems of the ornaments and decorative arts, 2 analysis of the pragmatic relations of the visual works and the way they work in the system of sign as visual language, and 3 diachronic analysis of the form and function of the ornaments and decorative arts in the system of sign. The result obtained is a form of appreciation of the art tradition which revealed the existence of the Nusantara traditional architectural ornament and decorative art as a sign of cultural evolution and the media for conveying messages from traditional customs. Keywords semiotics, ornament and decorative arts, Austronesia, Nusantara architecture Abstrak Ornamen dan ragam hias arsitektur tradisional Nusantara adalah karya rupa yang berasal dari kebudayaan Austronesia. Selain berfungsi sebagai hiasan, benda tersebut juga sebagai pembawa pesan adat yang penuh makna dalam sebuah sistem tanda. Bagaimana eksistensi dan perkembangannya sebagai bahasa rupa dari sudut pandang ilmu tanda atau semiotika menarik untuk dikaji. Tulisan ini mengkaji relasi-relasi antartanda pada sistem tanda yang terdapat pada ornamen dan ragam hias arsitektur tradisional Nusantara. Pembahasan meliputi 1 analisis relasi triadik sistem tanda dari karya rupa, 2 analisis relasi pragmatis karya rupa dan cara bekerjanya dalam sistem tanda sebagai bahasa rupa, dan 3 analisis diakronik dari wujud dan fungsi karya rupa sebagai sistem tanda. Hasil yang didapat adalah apresiasi tradisi karya rupa berupa pengungkapan eksistensi dari ornamen/ragam hias arsitektur adat Nusantara sebagai sistem tanda perkembangan kebudayaan dan media penyampaian makna dari adat istiadat. Kata kunci semiotika, ornamen dan ragam hias, Austronesia, arsitektur Nusantara Tulisan ini dipresentasikan pada Seminar Nasional Balai Arkeologi Jawa Barat “Indonesia Rumah Besar Austronesia dari Masa Prasejarah Hingga Kini” Mason Pine Bandung, 19—21 November 2019. PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 184 PENDAHULUAN Karya rupa pada kebudayaan Austronesia sudah muncul dalam penggunaan motif-motif hiasan yang ada pada perkakas gerabah yang digunakan peradaban ini pada ribuan tahun yang lalu. Ragam hias ini kemudian berkembang pada sekitar 500 SM setelah introduksi tradisi logam besi-perunggu yang dibawa oleh kebudayaan Dong Son van Heekeren, 1958, pp. 92–98; Solheim II, 1990, p. 23; Bellwood, 2007, pp. 277–283. Penggunaan karya rupa ini ditandai dengan banyaknya ditemukan artefak perkakas lepasan yang berhiaskan motif ragam hias ini, baik perkakas gerabah maupun besi-perunggu. Studi mengenai karya rupa ragam hias dan ornamen dari budaya Austronesia sudah banyak dilakukan. Studi-studi tersebut menyatakan pengelompokan motif karya rupa geometrik dan figuratif, gaya desain skematik dan realistik, dan pola-pola desain deformasi atau stilisasi, interpretasi dari pola dan motif ragam hias tersebut terkait dengan masa kebudayaannya, serta di antaranya juga membahas kesamaan pola dan motif antarartifak yang berasal dari berbagai macam situs, termasuk juga studi tentang teknik pembuatan karya rupa tersebut dengan cara teknologi cor logam dengan cetakan dari lilin dan tanah liat Solheim II, 1990, p. 24; Bellwood, 2007, p. 271; Chiou-Peng, 2008, pp. 36–38; Wijaya, 2013, pp. 214–219; Leihitu & Permana, 2019, pp. 222–225. Selain berfungsi sebagai hiasan, karya rupa ini juga berfungsi sebagai penanda dan terkait kegiatan ritual. Sebagai penanda, karya rupa ini muncul sebagai tanda kemajuan kebudayaan, seperti di bidang pertanian dan peternakan dengan munculnya pola-pola hias di nekara, sebagai contoh orang yang bekerja dengan lumpang dan alu serta adanya lumbung dan binatang ternak babi, ayam, anjing, dan tikus Thomas, 2011, p. 3; Jusoh, 2016, pp. 8–9. Karya rupa ini juga ditempatkan pada benda-benda yang berhubungan dengan kegiatan ritual kepercayaan sehingga mempunyai interpretasi makna yang terkait dengan pemujaan Yudoseputro, 2008, pp. 9–12; Mallabasa & Subiantoro, 2018, pp. 4–5. Kepercayaan mereka juga menganggap Gambar 1. Pola-Pola Ragam Hias pada Artifak Tembikar dari Budaya Austronesia dari Kalumpang, Sulawesi Tengah Terdapat pola geometrik dan yang menyerupai wajah manusia menurut van Heekeren, 1972 Sumber Digambar ulang dari Bellwood, 2007. Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 185 bahwa arwah orang yang sudah meninggal masih berhubungan dengan manusia lewat dimensi lain. Ini kemudian menjadi inspirasi ide dan ekspresi dari karya seni rupa, seperti motif mimesis wajah manusia, pola manusia naik kapal panjang kapal arwah dengan bertutup kepala berhias bulu burung yang juga menunjukkan kemampuan mereka dalam berpindah-pindah pulau Chiou-Peng, 2008, pp. 36–38; Thomas, 2011, pp. 6–7; Wijaya, 2013, pp. 218–219. Motif manusia dengan pola berbaris yang memegang semacam senjata dinterpretasikan sebagai kegiatan parade pejuang yang sedang baris-berbaris dalam kegiatan terkait ritual Jusoh, 2016, p. 12. Kepercayaan pada kekuatan gaib atau magisme memang secara fungsional sering muncul pada ungkapan karya seni rupa masyarakat prasejarah Yudoseputro, 2008, pp. 10–11. Nilai sakral menjadi ciri utama dari karya seni rupa prasejarah di samping nilai sosial berdasarkan fungsinya sebagai media komunikasi nilai. Dalam sejarah perkembangan arsitektur Nusantara, dinyatakan bahwa salah satu bentuk dasar dari rumah adat Nusantara adalah turunan langsung dari rumah orang Austronesia yang juga terlihat pada gambaran artifak perunggu, relief candi, dan naskah-naskah lama Fox, 2006b, pp. 1–19; Waterson, 2006, pp. 227–236; Bellwood, 2007, p. 150. Ragam hias dan ornamen merupakan bagian dari karya arsitektur tradisional Nusantara yang berkembang seiring dengan perkembangan karya rupa seni ragam hias Austronesia yang menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara. Sebagai bagian dari budaya seni rupa, karya rupa Austronesia ini berkembang beratus tahun kemudian sebagai ragam hias dari arsitektur tradisional Nusantara, bercampur dengan pengaruh agama dan budaya asing India, China, Arab, Barat yang membentuk kebudayaan hibrid Fox, 2006a, pp. 231–236; Maziyah et al., 2016, pp. 25–26. Studi tentang eksistensi dan perkembangan penggunaan ornamen dan ragam hias dari karya rupa Austronesia sebagai elemen dari arsitektur tradisional Nusantara dengan pendekatan ilmu tanda atau semiotika relatif belum dilakukan. Eksistensi ragam hias dan ornamen Austronesia yang muncul sebagai elemen arsitektur tradisional selain Gambar 2. Beberapa Contoh Sketsa Salinan dari Pola Ragam Hias Austronesia pada Artifak Tembikar yang Ditemukan di Anyer Kiri Atas, Gunung Wongko Kanan Atas, dan Gilimanuk Bawah Sumber Digambar Ulang dari Simanjuntak, RMB, 2009. PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 186 sebagai karya rupa dapat dilihat juga sebagai bagian dari sistem tanda dan memiliki relasi di antaranya sebagai bagian dari sistem tanda. Sistem tanda yang ada antara lain sebagai elemen fungsional dekoratif, sebagai penanda kemajuan peradaban, dan juga sebagai bahasa rupa penyampai makna dan gagasan yang berasal dari adat istiadat. Untuk membaca perkembangan fungsi-fungsi dari ornamen dan ragam hias tersebut, digunakan ilmu tanda atau semiotika sebagai pengungkap relasi-relasi di antara fungsi ornamentasi dan fungsi komunikasi budaya. Dalam semiotika, ornamen dan ragam hias adalah karya rupa dari kebudayaan dan merupakan bahasa rupa yang dapat diamati sebagai sistem tanda yang mempunyai fungsi dan makna. Tulisan ini mengungkap bagaimana eksistensi karya rupa arsitektur tradisional Nusantara yang bersumber dari kebudayaan Austronesia sebagai sistem tanda dalam pendekatan semiotika arsitektur. Bagaimana mengurai fungsi tanda-tanda dan relasi-relasi antartanda yang terjadi dalam sistem tanda karya rupa ini juga diungkapkan dalam pendekatan ini. Proses pengungkapan ini bertujuan untuk mengapresiasi dan melestarikan tradisi karya rupa tradisional Nusantara sebagai bahasa rupa pembawa makna adat. Semiotika arsitektur atau kajian tentang sistem tanda pada arsitektur adalah suatu kajian yang meliputi konsep mental, fungsi, desain, bentuk, eksistensi fisik, makna, dan pesan yang dibawa oleh setiap elemen arsitektur pada karya arsitektur tersebut Eco, 1980, pp. 15–24; Jencks, 1980, pp. 74–82; Putra & Ekomadyo, 2015, pp. 2–3. Dengan demikian, semiotika yang tepat untuk membahas karya arsitektur adalah semiotika modern yang dicetuskan oleh Charles Peirce. Peirce menyatakan bahwa terdapat suatu relasi yang sifatnya segitiga antara tanda sign atau objek yang dipahami berkarakter suatu tanda, representament atau objek atau benda yang dikenal sebagai pembawa tanda tersebut signifier, dan personal yang memaknai tanda tersebut interpretant/signified Eco, 1980, pp. 14–17; Hoed, 2014, pp. 8–10. Model relasi segitiga ini dikenal dengan model relasi triadik dalam sebuah sistem tanda. Pembawa tanda/penanda signifier yang berwujud dan akan memiliki suatu citra yang mewakili objek tanda berelasi dengan petanda signified atau interpretant, Gambar 3. Contoh Rumah Adat di Nusantara yang Mempunyai Kemiripan Bentuk dengan Rumah Austronesia Rumah Adat Tongkonan Toraja Kiri dan Batak Toba Kanan Sumber Disunting dari Sumardiono, 2010 dan Xperia-Newz, 2015. Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 187 yaitu bagaimana tanda tersebut dimaknai oleh seseorang lewat suatu konsep mental. Apabila digambarkan dalam sebuah bentuk relasi, model relasi triadik dari semiotika tersebut dapat dimunculkan sebagai berikut. Dalam pandangan semiotika, ide dari pemikiran manusia ini adalah sebuah tanda yang dihadirkan oleh karya arsitektur yang dapat dilihat sebagai teks, sedangkan makna yang dibawa tanda tersebut berperan sebagai konsep yang dibawa oleh desain arsitektur. Sistem tanda yang merupakan naungan relasi triadik ini adalah konteks tempat desain arsitektur sebagai media komunikasi ide dan kebudayaan. Memahami relasi antara konsep mental suatu karya arsitektur, bentukan desainnya, dan ide budaya yang dibawanya adalah inti dari semiotika arsitektur. Kritikus arsitektur Charles Jencks kemudian memunculkan suatu relasi triadik dari semiotika yang tetap berkaitan dengan relasi triadik Peirce di atas. Dalam sistem tanda ini, Jencks mengembangkan terminologi 1 simbol symbol sebagai bentuk lain dari penanda dalam sistem tanda pada arsitektur, 2 pikiran thought sebagai bentuk lain dari konsep mental, dan 3 rujukan referent sebagai bentuk lain atau acuan dari eksistensi bentuk/desain, yang langsung berkaitan dengan fungsi utama dari arsitektur tersebut Jencks, 1980, pp. 80–82. Charles Peirce, sebagai pakar semiotika linguistik menyatakan bahwa ada tiga hubungan pragmatis yang terkait dengan tanda Sachari, 2005, pp. 65–66; Hoed, 2014, pp. 8–10, yaitu 1 ikon, menyatakan hubungan tanda dengan acuannya berupa hubungan kemiripan, 2 indeks, menyatakan hubungan yang bersifat sebab akibat atau kedekatan eksistensial, dan 3 simbol, menyatakan yaitu hubungan yang terbentuk oleh konvensi sosial dan bersifat kultural. Setiap tanda dapat mengandung hubungan salah Gambar 4. Interpretasi Penulis akan Model Relasi Triadik Sistem Tanda yang Dikembangkan dari Semiotika Versi Peirce. Gambar 5. Relasi Triadik dalam Sistem Tanda pada Arsitektur menurut Charles Jencks. Sumber Jencks, 1980. PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 188 satu atau dua di antara tiga di atas, tetapi juga dapat berhubungan dengan ketiganya. Tiga hubungan pragmatis ini kemudian juga berhubungan dengan relasi suatu tanda dengan tanda lainnya yang terbagi menjadi tiga golongan cara bekerjanya, yaitu 1 sintaksis, menyatakan relasi antartanda yang menunjukkan kesamaan dan kerja sama, 2 pragmatik, menyatakan relasi antartanda yang berhubungan dengan fungsi dan pemakainya, dan 3 semantik, menyatakan relasi antartanda yang berhubungan dengan pemaknaan, denotasi, dan penafsirannya Sachari, 2005, p. 66; Hoed, 2014, pp. 23–25. Ornamen dan ragam hias dalam arsitektur dalam sistem tanda adalah suatu bentuk fisik yang bereksistensi lewat citra rupa dan desain serta memiliki konsep dan pesan budaya. Setiap elemen dalam sistem tanda mempunyai relasi dalam cara bekerjanya. Dengan demikian, semiotika menjadi relevan untuk menjelaskan relasi yang terjadi pada satu sistem tanda tersebut. Umberto Eco mengkaitkan fungsi tanda-tanda dalam arsitektur dan elemen-elemennya sebagai media komunikasi suatu ide. Tanda dalam arsitektur adalah suatu media yang membawa makna denotatif, yaitu tingkat pertama dari tatanan pertandaan yang fungsi utama tanda sebagai bentuk eksistensial dalam karya rupa arsitektur Eco, 1980, pp. 20–23; Kemas, 2017, pp. 7–10. Karena makna denotatif ini dapat berkembang lepas dari fungsi utama/aslinya, dalam relasinya, bentuk/penanda denotatif ini menjadi faktor yang memengaruhi desain. Dengan demikian, suatu makna denotatif dari suatu tanda dapat terbagi menjadi dua fungsi, yaitu fungsi utama dan fungsi pengembangan, yang keduanya bekerja sama beriringan contextual juxtaposition untuk dapat dipahami isi konsep yang akan diwakilinya. Selain denotatif, pada tanda terdapat makna konotatif, yaitu makna yang terkandung/implisit yang berkaitan dengan konsep kulturalnya. Hal itu dibaca dalam denotasi dari penggunaan utama tanpa mengurangi tingkat kepentingan fungsi utamanya. Makna konotasi juga berkaitan dengan hubungan tanda sebagai simbol yang mengomunikasikan bagaimana fungsi sosial dari simbolisme yang ada pada objek. Makna konotasi sebagai simbol pada fungsi sosial ini terkadang lebih penting daripada fungsi utamanya, yang dikandung oleh denotasi seiring dengan perkembangan historis penggunannya karena juga sebagai alat untuk mengekspresikan emosi, suasana hati, pikiran tertentu, dan sebagainya Jencks, 1980, pp. 80–81; Macbean, 2013, pp. 8–10. Oleh karena itu, peran konotatif yang dimunculkan oleh fungsi tambahan tadi justru lebih penting dalam mengomunikasikan ide-ide budaya. Dengan demikian, terdapat nilai-nilai denotatum dan konotatum dari setiap ornamen dan ragam hias pada setiap karya arsitektur tersebut karena akan selalu ada dimensi makna, yaitu makna yang disampaikan oleh pembuatnya dan makna yang dipahami oleh penikmatnya dalam suatu rentang waktu Jencks, 1980, pp. 80–82; Sachari, 2005, p. 70; Vine, 2008, pp. 35–36; Macbean, 2013, pp. 5–6; Hoed, 2014, pp. 77–80; Kharisma et al., 2015, pp. 3–4. Uraian tentang semiotika, relasi sistem tanda, hubungan antartanda, perkembangan wujud dan fungsi, dan pemaknaan suatu tanda dapat diturunkan pada suatu model semiotika yang dapat digunakan untuk menganalisis semiotika bahasa rupa. Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 189 Sistem tanda dalam arsitektur, apabila dilihat pada model di Gambar 6, akan bersifat gabungan. Tanda dalam arsitektur akan dapat muncul sebagai ikon, indeks, dan simbol secara bersamaan, hanya mempunyai satu tanda yang dominan. Ornamen dan ragam hias pada arsitektur tradisional Nusantara secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok motif, yaitu motif geometrik bentuk-bentuk dasar dan tumbuhan dan motif figuratif, seperti mimesis hewan dan mimesis manusia Solheim II, 1990, pp. 24–28; Yudoseputro, 2008, pp. 9–10; Aisyah, 2018, pp. 401–402; Leihitu & Permana, 2019, p. 225. Motif-motif ini bermunculan dalam pola, gaya, dan nama yang bermacam-macam dan ditempatkan pada beberapa posisi tertentu pada rumah adat. Hubungan antara motif, pola, gaya, penamaan, dan warna dengan fungsi/peranan dalam arsitektur, serta makna dan pesan yang akan disampaikan merupakan relasi antartanda yang dapat ditelaah dengan menggunakan kajian sistem tanda atau semiotika. Tulisan ini merupakan kajian pustaka mengenai penggunaan sudut pandang semiotika dalam kajian arsitektur. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran eksistensi akan tradisi bahasa rupa yang menunjukkan suatu relasi sistem tanda antara bentuk/desain, fungsi, dan pemaknaan sebagai media komunikasi ide dan konsep adat istiadat dan budaya. Metodologi yang dipakai adalah metodologi kualitatif dengan mengkaji semiotika bahasa rupa dari ornamen dan ragam hias Austronesia pada arsitektur tradisional. Pembahasan dilakukan dengan analisis relasi triadik pada sistem tanda dari suatu karya rupa dalam konteks adat istiadatnya. Berikutnya kajian dilakukan dengan menganalisis relasi pragmatis dari karya rupa dengan cara bekerja dalam sistem tanda yang dilakukan dengan mengurai beberapa sampel ragam hias/ornamen yang terdapat pada artifak lepasan Austronesia dan pada rumah adat Nusantara. Dilakukan juga analisis perkembangan historis/diakronik dari wujud dan fungsi desain untuk menggambarkan perkembangannya sebagai bahasa rupa. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam kajian ini dilakukan analisis dari relasi triadik yang berupa hubungan antara sifat-sifat karya rupa tersebut sebagai tanda/rujukan sebagai perwujudan fisik, fungsinya sebagai penanda/simbol/visualisasi/desain, dan dengan sifatnya sebagai petanda/pikiran/pembawa konsep mental/pesan. Relasi ini dibaca dalam konteks Gambar 6. Interpretasi Penulis akan Relasi Pragmatis dan Cara Bekerjanya dari Karya Rupa/Arsitektur dalam Sistem Tanda. PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 190 kebudayaan sebagai media komunikasi ide dan nilai adat. Dengan demikian, dapat dimunculkan suatu model relasi dari sistem tanda sebagai berikut. Berdasarkan model tersebut, dapat diuraikan bahwa karya rupa, jika dipandang sebagai sistem tanda, mempunyai hubungan-hubungan sebagai berikut. • Sebagai penanda/signifier, karya rupa mempunyai eksistensi fisik yang diwujudkan oleh visualisasi berupa ukiran, lukisan, atau skulptur yang mempunyai unsur-unsur desain, seperti bentuk, warna, raut, komposisi, dan sebagainya. • Sebagai rujukan/referent, karya rupa merupakan acuan dari sebuah visualisasi yang diserap oleh penikmatnya dan mempunyai nilai denotatumnya, baik sebagai hiasan pada elemen-elemen rumah adat maupun sebagai atribut dari kegiatan adat. • Kedua sifat di atas adalah hasil pikiran dan konsep mental yang diturunkan oleh budaya yang bekerja di pikiran penikmat sebagai petanda/signified sekaligus sebagai media pembawa pesan adat. • Relasi ketiganya akan memunculkan suatu kepentingan yang lebih utama dalam eksistensinya, yaitu nilai konotatum yang berupa kandungan makna yang tersirat berupa harapan, pencapaian, kearifan lokal, dan lain-lain yang akan dikomunikasikan kepada penikmatnya sebagai sebuah ekspresi budaya. Analisis akan relasi pragmatis dari suatu ornamen dan ragam hias dengan cara bekerjanya dalam sistem tanda sebagai bahasa rupa dari berbagai sampel dari era Austronesia dan arsitektur tradisional Nusantara dapat dilihat pada tabel-tabel berikut. Tabel 1. Analisa Semiotika Bahasa Rupa Austronesia Leihitu & Permana, 2019 Lukisan Gua Papua Barat • Hiasan, estetika, • Karya seni rupa • Kalender musiman • Media upacara keagamaan • Makna sakral • Nilai status sosial • Atribut kekuasaan • Cita rasa masyarakat Gambar 7. Model Semiotika Bahasa Rupa dari Ornamen/Ragam Hias Austronesia- Rumah Adat Nusantara. Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 191 Setengah Lingkaran Bertautan Nekara Semarang dan Pejeng - Burung - Ikan - Anjing - Macan/ berburu - Rusa/ berburu • Hiasan, estetika • Karya seni rupa • Media upacara keagamaan • Makna sakral • Magi pemujaan/ kehadiran nenek moyang • Nilai status sosial • Cita rasa masyarakat • Kemampuan domestifikasi binatang • Atribut kekuasaan • Pencapaian kebudayaan Patung Batu Besoha, Sulawesi Figur manusia, muka dan tangan • Hiasan, estetika • Karya seni rupa • Media upacara keagamaan • Makna sakral • Magi pemujaan/ kehadiran nenek moyang • Nilai status sosial • Cita rasa masyarakat • Gambaran kehidupan sehari-hari • Pencapaian kebudayaan Muka manusia, dengan asesoris lukis muka dan anting Sumber van Heekeren, 1958; Solheim II, 1990; Groves, 2006; Chiou-Peng, 2008; Yudoseputro, 2008; Wijaya, 2013; Jusoh, 2016; Mallabasa & Subiantoro, 2018; Leihitu & Permana, 2019. Tabel 2. Analisa Semiotika Bahasa Rupa Motif Geometrik Era Arsitektur Nusantara Gorga Batak Rumah Adat Batak Pinar Bunga Bongbong Merah, Hitam, Putih • Penutup lisplang rumah bolon • Hiasan gorga • Menghalangi • Menghadang • Pencegah mara bahaya • Untuk keselamatan • Murah rejeki • Warna bersifat energi, kebersihan, kekuatan Gorga Batak Rumah Adat Batak Ipon-ipon Merah, Hitam, Putih • Border, ujung bidang ukiran • Tepian lisplang • Hiasan gorga • Deformasi deretan gigi seri • Pola Berderetan • Kesetaraan • Anjuran agar ramah pada setiap orang • Lambang kemajuan Ni'oafi-afi pola radial • Deformasi floral dengan dilingkari oleh lingkaran • Status sosial di masyarakat bangsawan Garonto Passura Tongkonan Toraja Pa'sussu Merah, Hitam, Putih, Kuning • Hiasan bagian tepi dari bidang garonto • Stilisasi segitiga yang berderetan sama tinggi • Sifat masyarakat yang demokratis PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 192 Garonto Passura Tongkonan Toraja Pa'barre Allo Merah, Hitam, Putih, Kuning • Ornamen sopi-sopi rumah • Point of interest • Stilisasi realistik lingkaran dengan ornamen keliling yang memusat pada satu titik pusat • Kepercayaan bahwa Tuhan YME adalah sumber kehidupan Rumah Bagonjong Minangkabau Itiak Pulang Patang Bermacam-macam dan selang-seling • Ornamen tepian bidang ukiran dinding • Deformasi skematik bentuk badan itik yang jalan berbaris berderetan • Kehidupan mengejar keselarasan • Anak perempuan harus pulang sebelum gelap • Menjaga sistem kekerabatan Ni'osolafiga Ni'ohatuyo Merah, Hitam, Emas • Ornamen pola di rumah. • Hiasan di kain tenun • Deformasi skematik segitiga ujung tombak berderet • Segiempat berbentuk berlian • Persatuan dan gotong royong • Jiwa kepahlawanan • Status sosial kebangsawanan Motif Pakis Hitam, Putih, Kuning • Hiasan dinding luar rumah • Stilisasi skematik bentuk pakis yang dibentuk lengkung-lengkung simetris • Penolak Bala • Penangkal teluh/sihir Sumber Sipayung & Lingga, 1995; Lullulangi & Sampebua’, 2007; Viaro, 2008; Prasetya & Adi, 2011; Prasetyo, 2014; Amzy, 2017; Aisyah, 2018; Hidayat, 2018; Khairuzzaky, 2018. Tabel 3. Analisa Semiotika Bahasa Rupa Motif Mimesis Hewan Era Arsitektur Nusantara Gorga Batak Rumah Adat Batak Pinar Hambing Mardugu Merah, Hitam, Putih • Dinding depan sebelah kiri pintu rumah bolon • Hiasan gorga • Deformasi bentuk sepasang kambing akan berlaga • Menunduk siap menanduk • Simbol keberanian akan tantangan dari luar • Mempertahankan diri adalah utama Gorga Batak Rumah Adat Batak Pinar Boraspati Merah, Hitam, Putih • Hiasan dinding luar sisi samping rumah permaisuri atau selir • Deformasi bentuk kadal/cicak • Simbol harus dapat mudah beradaptasi • Penjaga rumah • Penolak roh jahat • Hiasan tiang penyangga atap utama • Mimesis dan stilisasi kepala buaya dengan mulut terbuka • Saling menghadap berlawanan • Hiasan tiang utama atap /struktur • Kepala kerbau dengan skala dan bentuk serupa asli • Kepemimpinan • Pelaksana aturan • Status sosial • Palang pintu • Hiasan dinding dalam rumah • Simbol rumah tukang ramal • Ornamen tiang/struktur utama rumah • Stilisasi bentuk kepala burung enggang yang sedang mendongak Gorga Batak Rumah Adat Batak • Hiasan pada lisplang • Hiasan pada tiang beranda • Deformasi sisik trenggiling • Keharusan memiliki pertahanan diri Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 193 • Ornamen dinding • Ornamen bubungan atap • Stilisasi dari Burung Enggang • Jelmaan sosok sakti • Kemuliaan dan kebesaran • Lambang kesetiaan Sumber Sipayung & Lingga, 1995; Lullulangi & Sampebua’, 2007; Viaro, 2008; Prasetya & Adi, 2011; Mayasari et al., 2014; Prasetyo, 2014; Putra & Ekomadyo, 2015; Amzy, 2017; Marlina, 2017; Hidayat, 2018. Tabel 4. Analisa Semiotika Bahasa Rupa Motif Mimesis Manusia Era Arsitektur Nusantara Udo, Kelunan kuning, putih, htam, merah • Hiasan dinding depan rumah Lamin • Sarana pemujaan leluhur • Skematik/Deformatif muka manusia • Penolak bala • Menjaga rumah • Perwujudan nenek moyang Gorga Batak Rumah Adat Batak Gorga Singa-singa Merah, Hitam, Putih • Patung atau ornamen yang menempel pada dinding luar rumah • Stilisasi bentuk manusia jongkok • Pengaruh akal pada hukum untuk keadilan • Kebesaran dan kekuatan Sumber Yudoseputro, 2008; Wijaya, 2013; Marlina, 2017; Siburian, 2018. Tabel 5. Analisa Semiotika Bahasa Rupa Motif Mimesis Tumbuhan Era Arsitektur Nusantara Rumah Gadang Minang-kabau • Border bidang dinding • Ornamen bidang besar • Deretan stilisasi daun sirih, yang tumbuh bersifat merambat dan saling mengikat • Persatuan adalah yang utama • Menjaga persaudaraan dan rasa sosial • Dilarang menonjolkan diri Gorga Batak Rumah Adat Batak Pinar Bulung Andudur Merah, Hitam, Putih • Hiasan di samping kiri kanan pintu bolon • Stilisasi daun andudur/palem sarai dengan cincin-cincin ijuk di batang • Selalu tepat janji • Selalu memupuk dan menjalin keakraban Kambang Talipuk Teratai • Border, bidang panjang • Hiasan pada dinding depan • Stilisasi dari daun dan bunga teratai yang tumbuh di rawa-rawa • Kesucian • Kemurnian • Keselarasan lahir bathin Sumber Sipayung & Lingga, 1995; Putra & Ekomadyo, 2015; Dewi & Hendrawan, 2016; Amzy, 2017; Marlina, 2017; Aisyah, 2018; Khairuzzaky, 2018. Tabel-tabel analisis tersebut memperlihatkan bahwa terdapat relasi yang jelas antara visualisasi desain karya rupa yang muncul dalam bermacam-macam wujud motif dan penamaan yang diwujudkan dalam beberapa teknik desain yang akan mengandung pemaknaan sebagai media pemberi pesan adat sesuai rujukannya. Dalam relasi indeks/pragmatik dari karya rupa, terdapat relasinya sebagai fungsi denotatif utama sebagai hiasan rumah adat atau sebagai denotatif pengembangan yang berhubungan dengan penyampaian pesan adat yang bekerja bersamaan. Oleh karena itu, elemen ragam hias dan ornamen pada rumah adat dipilih posisi penempatannya agar mudah dilihat orang lain sesuai signifikansinya dalam PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 194 menyampaikan pesan adat, seperti pada dinding muka, tiang utama, dan atap rumah. Dengan demikian, pemakaian dan penempatan ornamen pada rumah adat mempunyai fungsi dan makna seperti menunjukkan status sosial, kedekatan dengan alam, dan sebagai tanda terdapatnya pengaruh budaya asing Macbean, 2013, pp. 4–5; Putra & Ekomadyo, 2015, pp. 2–3. Perkembangan historis atau diakronik yang dihubungkan terhadap relasi sistem tanda dapat diwakili oleh skema sebagai berikut. Skema ini menunjukkan perkembangan ornamen/ragam hias ini dapat dibagi menjadi tiga era, yaitu 1 Era Austronesia, 2 Era Tradisional Nusantara, dan 3 Era Modern. Secara umum, karya rupa ini adalah ornamen dengan fungsi utama sebagai penghias artifak budaya. Karya rupa ini dapat diurai dalam beberapa motif sebagai tema utama dari kreasi suatu karya seni, yang kemudian akan diturunkan pada beberapa gaya atau tata cara spesifik dalam mengkreasikan karya dan pada tingkat teknik dalam beberapa pola sebagai arahan atau panduan agar tidak menyimpang dari tema utamanya Kemas, 2017, p. 13. Pada era Austronesia, karya rupa ini diurai dalam motif geometrik dan figuratif tumbuhan, hewan, dan manusia sebagai tema utama karya yang juga berelasi pragmatis dari tanda sebagai ikon dengan instrumen metafora untuk bekerja dalam sintaksisnya. Motif ini kemudian dikreasikan dengan dua macam gaya desain, yaitu gaya skematik desain konseptual yang memunculkan bentuk unsur-unsur utama dan gaya realistik memvisualisasikan sedekat mungkin dengan bentuk asli. Dua gaya ini kemudian diwujudkan dalam teknik visualisasi dengan pola deformasi merngubah bentuk dasar utamanya ataupun stilisasi atau penggayaan/melebihkan. Gaya dan pola ini berelasi pragmatis sebagai indeks dan menggunakan instrumen indikasi untuk penggunaan/fungsi/peranannya pada suatu artifak, sedangkan fungsi pengembangan dari karya rupa sebagai bahasa rupa yang berelasi pragmatis pada simbol/semantik tidak dapat dimunculkan, diduga karena tidak ada enskripsi/manuskrip yang menjelaskan. Gambar 8. Analisis Penulis akan Hubungan Antara Sistem Tanda dan Tinjauan Diakronik dari Karya Rupa Ornamen dan Ragam Hias Austronesia-Rumah Adat Nusantara. Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 195 Pada zaman kedua di era tradisional Nusantara, eksistensi proses kreasi karya rupa dari motif, gaya, dan pola relatif terjaga pada tahapan seperti di era Austronesia dengan teknik pengerjaan pola desain yang terlihat lebih halus sebagai tanda kemajuan teknologi. Perkembangan yang signifikan dalam proses kreasi yang berelasi dengan ikon/sintaksis adalah adanya penamaan karya rupa lewat bahasa lokal yang pada relasi indeks/pragmatik saling berhubungan dengan cara pandang pragmatis atau asosiatif terhadap motif desain. Dengan demikian, unsur lanjutan dari relasi pragmatik dalam penamaan adalah turunan cara pandang tersebut yang berupa karakter fisik yang menjadi inspirasi desain motifnya. Selanjutnya, era ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu masuknya budaya dan agama asing yang membentuk akulturasi yang berlanjut pada suatu konvensi budaya. Karya-karya rupa ini kemudian menyandang sifat sebagai simbol yang dengan instrumen arbitrari sebagai instrumennya yang direlasikan dengan semantik untuk memunculkan makna, pesan, bahkan penjelasan akan lambangnya yang berdampingan dengan nama sebagai tanda yang dibawanya. Selanjutnya, periode yang ketiga adalah era modern, konvensi budaya satu sudah mulai bercampur dengan yang lainnya. Dalam kondisi ini ornamen/ragam hias sebagai media komunikasi ide dari konsep adat mulai berkurang pengaruhnya dalam memberikan makna dan pesan. Pada era ini juga terdapat sinkretisme akan pemaknaan spiritual karya rupa sebagai bahasa rupa. Hal ini terjadi akibat beberapa hal, antara lain fusi antara teknologi material dan estetika spiritual, manusia sudah mampu mengelola alam untuk kepentingannya, masuknya agama modern Islam dan Kristen, dan hilangnya takhayul akibat munculnya multifungsi dan makna dari benda-benda yang ada di alam. Pergeseran makna dari simbolisme yang dibawa sebuah karya rupa pada era ini juga berwujud sebagai fungsi dekoratif ketika konsep budaya yang sebagai konteks membaca pesan adat sudah tidak dipakai lagi atau berpindah pada kebudayaan yang lainnya Vine, 2008, p. 12; Shabalina, 2017, p. 2. Dari analisis di atas dapat dikemukakan bahwa eksistensi dan perkembangan bahasa rupa dari ornamen dan ragam hias ini masih relatif bertahan sebagai unsur hiasan/fungsi ornamentasinya saja, sedangkan sebagai media komunikasi atau pembawa makna, relatif mengalami penurunan yang disebabkan akulturasi budaya. Di sini dapat juga terlihat adanya potensi peningkatan eksistensi karena dominasi pengembangan sifat indeks/pragmatik dari karya rupa tersebut dapat memunculkan ragam hias/ornamen baru yang tetap berelasi dengan indeks/pragmatik asalnya akan saja tidak berelasi kuat dengan simbol/semantik dari konsep adatnya. SIMPULAN Eksistensi dari perkembangan karya rupa sebagai bahasa rupa memang tidak terlepas dari kerja sama trikotomis antara bentuk/desain, fungsi, serta maknanya beserta relasi-relasi yang ada di dalamnya. Pada arsitektur tradisional Nusantara, adat istiadat memainkan peranan penting agar ornamen dan ragam hias berfungsi sebagai media komunikasi ide dan konsep yang akan membawa karya rupa ini sebagai sistem tanda yang lengkap. Adat istiadat berfungsi sebagai konteks dari pemaknaan/fungsi konotatif PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 196 yang memang pada struktur relasi sistem tanda menempati posisi yang lebih utama dalam sistem tanda. Pengaruh akulturasi budaya dan rentang waktu akan sangat berpengaruh pada perkembangan eksistensi karya rupa ini karena akan dapat menghilangkan konteks yang akan menjadi rujukan dari membaca dan mempersepsikan teks dari makna ornamen dan ragam hias ini. Apabila ini terjadi, perkembangan ornamen/ragam hias yang bersumber dari arsitektur tradisional Nusantara akan terbatas pada eksistensi bernilai denotatum saja walaupun sebagai wujud karya rupa akan terus dapat berkembang. Karena karya rupa ini dalam relasi tanda sebagai indeks akan dapat terus dikembangkan pola desainnya berdasarkan motif dan gaya yang menjadi arahan desain dari ornamen/ragam hias ini tanpa banyak berelasi dengan simbol yang bernilai konotatum. DAFTAR PUSTAKA Aisyah, S. 2018. Pola Dasar Dan Makna Ukiran Motif Rumah Gadang Koto Sani Kecamatan X. Narada, Jurnal Desain & Seni, 53, 401–416. Amzy, N. 2017. Analisis makna ornamen rumah gadang dalam perspektif filsafat pendidikan. Jurnal Desain, 0403, 282–290. Bellwood, P. 2007. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago 3rd ed.. ANU E Press. Chiou-Peng, T. 2008. Dian bronze art its source and formation. Bulletin of the Indo-Pacific Prehistory Association, 280, 34–43. Dewi, N. M. E. N., & Hendrawan, F. 2016. Kajian Semiotika Ornamen dan Dekorasi Interior Kelenteng Sebagai Wujud Inkulturasi Budaya di Kota Denpasar. Seminar Nasional Tradisi Dalam Perubahan Arsitektur Lokal Dan Rancangan Lingkungan Terbangun - Bali 2016, 1–14. Eco, U. 1980. Function and Sign The Semiotics of Architecture. In G. Broadbent, R. Bunt, & C. Jencks Eds., Signs, Symbols, and Architecture pp. 11–69. John Wiley & Sons. Fox, J. J. 2006a. Austronesian Societies and Their Transformations. In P. Bellwood, J. J. Fox, & D. Tyron Eds., The Austronesians Historical and Comparative Perspectives. pp. 229–244. ANU E Press. Fox, J. J. 2006b. Comparative Perspectives on Austronesian Houses An Introductory Essay. In J. J. Fox Ed., Inside Austronesian Houses, Perspective on Domestic Designs for Living pp. 1–29. ANU E Press. Groves, C. P. 2006. Domesticated and Commensal Mammals of Austronesia and Their Histories. In P. Bellwood, J. J. Fox, & D. Tyron Eds., The Austronesians, Historical and Comparative Perspectives pp. 161–174. ANU E Press. Kajian Semiotika Ornamen Dan Ragam Hias … Doni Fireza dan Adli Nadia 197 Hidayat, H. N. 2018. Pengembangan Motif Ukiran Rumah Gadang untuk Motif Kain Revitalisasi dan Pengembangan Industri Kreatif. Jurnal Ilmiah Lingua Idea, 91, 11–22. Hoed, B. H. 2014. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya 3rd ed.. Komunitas Bambu. Jencks, C. 1980. The Architectural Sign. In G. Broadbent, R. Bunt, & C. Jencks Eds., Signs, Symbols, and Architecture pp. 72–118. John Wiley & Sons. Jusoh, A. 2016. Kebudayaan Dongson di Asia Tenggara Satu Tafsiran Berdasarkan Penemuan Arkeologi. Purba -Jurnal Persatuan Muzium Malaysia, 35, 1–28. Kemas, W. P. 2017. Analisis Semiotika pada Ornamen Masjid Jamik Ismaliyah Serdang Bedagai [Universitas Sumatera Utara]. Khairuzzaky, K. 2018. Kajian Struktur Ragam Hias Ukiran Tradisional Minangkabau Pada Istano Basa Paguruyung. Jurnal Titik Imaji, 11, 54–67. Kharisma, A., Amiuza, C. B., & Ridjal, A. M. 2015. Semantik Arsitektur Pada Pasar Seni Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Mahasiswa Jurusan Arsitektur, 31. Leihitu, I., & Permana, R. C. E. 2019. A Reflection of Painting Tradition and Culture of the Austronesian Based on the Rock Art in Misool, Raja Ampat, West Papua. Journal of Southeast Asian Studies, 241, 220–242. Lullulangi, M., & Sampebua’, O. 2007. Arsitektur Tradisional Toraja. Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. Macbean, A. C. 2013. Art and Symbolism The Technique of Applying Hidden Meaning and Communicating Specific Ideas Through Art [Liberty University]. Mallabasa, Y., & Subiantoro, B. 2018. Sejarah Seni Rupa Indonesia Bagian I Prasejarah. Program Studi Pendidikan Seni Rupa, Universitas Negeri Makassar. Marlina, H. 2017. Kajian Semiotik Motif Pakaian Adat Suku Dayak Kenyah di Desa Pampang Samarinda Kalimantan Timur. Jurnal Jurusan Seni Murni ISI Yogyakarta. Kajian Semiotika Motif pakaian Adat Dayak Kenyah Herlinda Mayasari, M. S., Tulistyantoro, L., & Rizqy, M. T. 2014. Kajian Semiotik Ornamen Interior Pada Lamin Dayak Kenyah Studi Kasus Interior Lamin di Desa Budaya Pampang. Jurnal Intra, 22, 288–293. Maziyah, S., Mahirta, M., & Atmosudiro, S. 2016. Makna Simbolis Batik Pada Masyarakat Jawa Kuna. Paramita Historical Studies Journal, 261, 23–32. PURBAWIDYA Vol 9, No. 2, November 2020 183-198 198 Prasetya, L. E., & Adi, S. M. 2011. Makna dan Filosofi Ragam Hias Pada Rumah Tradisional Minangkabau di Nagari Pariangan Tanah Datar. Prosiding Seminar Nasional “Kearifan Lokal Dalam Keberagaman Untuk Pembangunan Indonesia“, 2001, 59–70. Prasetyo, F. A. 2014. Cosmology of Nias Architecture. In U. Jogjakarta Ed., Seminar Nasional Arsitektur Merah Putih, Ruang & Tempat dalam Latar Indonesia Issue July, pp. 1–16. UKDW Yogyakarta. Putra, R. A., & Ekomadyo, A. S. 2015. Penguraian Tanda Decoding pada Rumah Aceh dengan Pendekatan Semiotika Elaboration of Sign Decoding of Rumoh Aceh Using Semiotics Approach. Tesa Arsitektur, Journal of Architectural Discourses, 131, 1–14. Sachari, A. 2005. Metodologi Penelitian Budaya Rupa W. Hardani ed.; 1st ed.. Erlangga. Shabalina, N. M. 2017. Design and Decorative Art in Shaping of Architectural Environment Image. IOP Conference Series Materials Science and Engineering, 2621, 1–6. Siburian, D. E. 2018. Pengenalan Motif Gorga Singa-singa. Jurnal ATRAT, 61, 1–12. Sipayung, H., & Lingga, A. 1995. Ragam Hias Ornamen Rumah Tradisional Simalungun S. Purba ed.. Museum Neg. Prop. Sumatera Utara. Solheim II, W. G. 1990. A Brief History of the Dongson Concept. In Asian Perspectives Vol. 28, Issue 1. Thomas, D. R. 2011. Origins of the Austronesian Peoples. In N. A. Rahman, Z. Ramli, M. Musa, & A. Jusoh Eds., Alam Melayu Satu Pengenalan Malay World One Contribution to Knowledge pp. 13–21. Institut Alam dan Tamandun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia. van Heekeren, H. R. 1958. The Bronze-Iron Age of Indonesia. Nijhoff. Viaro, A. 2008. Nias Island traditional houses. In R. Schefold, P. J. Nas, G. Domenig, & R. Wessing Eds., Indonesian Houses pp. 175–235. Brill. Vine, S. A. 2008. Visual Forms and Symbolism in Traditional South Asian Art- Changes in Art Making , the Importance of Urban Folk Art. Lahore University. Waterson, R. 2006. Houses and the Built Environment in Island South-East Asia Tracing some shared themes in the uses of space. In J. J. Fox Ed., Inside Austronesian Houses, Perspective on Domestic Designs for Living pp. 227–242. ANU E Press. Wijaya, H. 2013. Nekara Peninggalan Seni Budaya Dari Zaman Perunggu. Humaniora, 41, 212–220. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Herry Nur HidayatThis article describes the effort to develop ornamental motifs that are found in rumah gadang, Minangkabau traditional house, become decorative motif for cloth. Decorative motifs of cloth is not only in the form of batik motifs, but also the possibility for motif embroidered, songket, and fashion design. There are 76 motives found which are grouped based on motives meaning. meanwhile, these motives were selected based on the design possibility for batik, songket, and fashion motif. This work is one of revitalization effort of traditional works.. In addition, this effort is expected to become one of the alternative of entrepreneurship development within the framework of local content-based creative industries. Natalia ShabalinaThe relevance of the topic is determined by the dynamic development of the promising branch, the architectural environment design, which requires, on the one hand, consideration of the morphology and typology of this art form, on the other hand, the specificity of the architectural environment artistic image. The intensive development of innovative computer technologies and materials in modern engineering, improvement of the information communications forms in their totality has led to the application of new methods in design and construction which, in their turn, have required the development of additional methods for content and context analysis in the integrated assessment of socially significant architectural environments. In the modern culture, correlative processes are steadily developing leading us to a new understanding of the interaction of architecture, decorative art and design. Their rapprochement at the morphological level has been noted which makes it possible to reveal a specific method of synthesis and similarity. The architecture of postmodern styles differs in its bionic form becoming an interactive part of the society and approaching its structural qualities with painting, sculpture, and design. In the modern world, these processes acquire multi-valued semantic nuances, expand the importance of associativity and dynamic processuality in the perception of environmental objects and demand the development of new approaches to the assessment of the architectural design environment. Within the framework of the universal paradigm of modern times the concept of the world develops as a set of systems that live according to the self-organization Khairuzzakyp>Melestarikan warisan budaya merupakan upaya benteng budaya terhadap pengaruh budaya negatif dari luar yang demikian cepat datangnya sebagai akibat arus komunikasi global yang sekarang sedang melanda dunia ini. Salah satu bentuk warisan budaya material adalah bermacam “Ragam Hias Ukiran Tradisional Minangkabau” dalam Rumah Gadang di Sumatera Barat yang motif ukiran tersebut mencerminkan nilai luhur bangsa. Salah satu bangunan peninggalan sejarah Indonesia yang menggunakan ukiran tradisional Minangkabau adalah Istana Baso Pagaruyung di Batusangkar, Sumatera Barat. Dengan proses pembuatan ukiran yang mahal menjadi salah satu faktor menyebabkan kebudayaan ini sudah mulai banyak ditinggalkan. Maka perlu dibuat sebuah penelitian yang membahas tentang ragam hias ukiran Minangkabau menjadi sebuah karya ilmiah tertulis agar bisa diketahui oleh masyarakat untuk memahami makna, struktur dan filosofinya. Menggunakan metode penilitian kualitatif deskriptif dengan analisis interaktif, terdiri dari tiga komponen analisis yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menjelaskan struktur kompenen dan makna simbolis dari setiap pola motif ukiran yang dipakai di lima bagian dalam Istana Baso Pagaruyung yaitu singok atap, pintu, ventilasi, langit-langit, dan kak i istana. Simbolis ukiran Minangkabau mencerminkan kehidupan sehari-sehari masyarakat Minangkabau yang dituangkan dalam sebuah pituah Minangkabau. Pituah-pituah tersebut mempunyai dua makna tafsiran yaitu denotatif dan konotatif, sehingga secara simbolis ukiran yang dibuat menyampaikan pesan yang tersirat dan tidak tersirat bagi setiap orang yang melihatnya, serta menjadikan sarana mendidik dan menegur masyarakat Minangkabau. Kata Kunci Warisan Budaya, Ragam Hias, Ukiran, Minangkabau. Untukitu perlu adanya pengembangan-pengembangan eksistensi batik baik dibidang teknologi maupun disain dan pemasaran melalui penanganan UKM-nya.Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan perancangan disain batik dengan unsur-unsur ragam hias Sumatera Utara sebagai aspek disainnya. Ragam hias Suma/era Utara sangat variatif karena berasal dariIndonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan yang beraneka ragam, sejalan dengan itu, bangunan-bangunan terutama rumah adat yang bersifat tradisional sangat beraneka ragam pula, mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang berbentuk unik, baik berdiri sendiri maupun yang berkelompok, masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri. Dalam arsitektur tradisional, tercermin kepribadian masyarakat tradisional, artinya bahwa arsitektur tradisional tersebut terpadu dalam wujud ideal, sosial, material dan kebudayaan. Di Sumatera Utara terdapat beberapa bentuk arsitektur tradisional diantaranya Batak Toba, Batak Karo, Pak-pak Dairi, Batak Simalungun, Mandailing, Melayu dan Nias. Satu dengan lainnya terdapat perbedaan, hal ini di sebabkan oleh pengaruh lingkungan kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat masing-masing daerah. Sejalan dengan pelestarian adat istiadat dan kebudayaan suatu daerah, maka bersamaan dengan kegiatan tersebut, pelestarian dan perawatan juga dilakukan terhadap bangunan-bangunan tradisionalnya terutama rumah-rumah adatnya. Menyadari bahwa sisa-sisa arsitektur tradisional dikhawatirkan akan mengalami kepunahan maka perlu dilakukan suatu pendataan atau inventarisasi untuk dapat membuat suatu rekaman dari bangunan-bangunan sekaligus melakukan usaha pelestarian dan perawatan terhadap bangunan-bangunan tradisional tersebut. Arsitektur tradisional adalah merupakan cerminan sosial dan kehidupan masyarakat suatu daerah. Arsitektur tradisional disini juga meliputi arsitektur yang tumbuh dari masyarakat suatu komunitas tertentu. Selanjutnya tentu saja nilai sosial dan kehidupan masyarakat akan sangat ditekankan sebagai kajian yang mendasar. Hal ini merupakan gambaran bagaimana karya arsitektur sebagai produk budaya erat sekali dengan keadaan pola kehidupan sosialnya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free ARSITEKTUR DAN SOSIAL BUDAYA SUMATERA UTARAPenulis Julaihi Wahid Bhakti AlamsyahEdisi Pertama Cetakan Pertama, 2013Hak Cipta 2013 pada penulis,Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Jambusari No. 7AYogyakarta 55283Telp. 0274-889836; 0274-889398Fax. 0274-889057E-mail info Julaihi; Alamsyah, BhaktiARSITEKTUR DAN SOAIAL BUDAYA SUATERA UTARA/Julaihi Wahid; Bhakti Alamsyah- Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 viii + 198 hlm, 1 Jil. 26 978-979-756-933-41. Arsitektur 2. Sosial 3. Budaya I. Judul Mata kuliah Sejarah dan Teori Arsitektur adalah merupakan mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur, termasuk dalam kategori disiplin ilmu yang spesik didalam kelompok ilmu Teori dan Kritik ArsitekturMata kuliah ini adalah sebagai dasar pemahaman dan pembuka wawasan mahasiswa dalam mengembangkan kemampuannya dalam merancang, bahwa banyak sekali aliran-aliran, gaya-gaya, bentuk-bentuk arsitektur yang terdapat di dunia yang muncul dengan latar belakang yang berbe-da. Sehingga dengan mata kuliah ini diharapkan dapat meningkatkan kreatitas mahasiswa dalam mengembangkan perancangan terutama dalam mata kuliah Perancangan Arsitektur. Dengan men-jadikan materi yang ada di dalam mata kuliah Sejarah dan Teori Arsitektur ini sebagai pembanding yang dapat menghindari mahasiswa menjadi plagiator, ataupun utopia terhadap aliran-aliran, gaya-gaya, bentuk-bentuk arsitektur yang mengagumkan. Buku-buku yang tersedia saat ini lebih banyak buku produk luar negeri atau sedikit hasil ter-jemahan langsung yang berkaitan dengan mata kuliah ini. Hal ini dirasakan sangat kurang untuk menciptakan pemahaman perancangan mahasiswa karena buku-buku produk luar negeri dan ter-jemahannya sudah disusun sedemikian rupa sesuai dengan pemahaman dan budaya bangsa luar, jelas-jelas tidak sesuai dengan kebudayaan lokal. Sehingga dapat menciptakan utopia-utopia salah arah yang dapat menghilangkan identitas lokal Indonesia pada umumnya dan Sumatera Utara pada khususnya. Walaupun demikian, buku ini harus tetap ada karena informasi aliran-aliran, gaya-gaya, ben-tuk-bentuk arsitektur yang terdapat didalam buku tersebut telah mempengaruhi sejarah perjalanan Arsitektur Indonesia, terutama pengaruh yang ditimbulkan oleh Arsitektur Tradisional yang ada di Indonesia. KATA PENGANTAR vi Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera UtaraUntuk selanjutnya kami akan berusaha untuk melengkapi yang lainnya dan saya mengharap-kan masukan maupun kritik dari pembaca yang dapat kami jadikan bahan demi kesempurnaan buku ini. Penulis DAFTAR ISIKATA PENGANTAR vDAFTAR ISI viiBAB 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Batasan Inventarisasi Arsitektur dan Sosial Budaya 3 Maksud dan Tujuan 3 Ruang Lingkup Studi 4 Rumusan Masalah 4 Metode Inventarisasi 5 Metode Pelaksanaan Inventarisasi 5 Penyusunan Rancangan Inventarisasi 7 Manusia dan Budaya 9BAB 2 SEKILAS TENTANG KEBUDAYAAN DI SUMATERA UTARA 9 Karakteristik Geogras Provinsi Sumatera Utara Keadaan Umum 11 Topogra 13 Hidrologi dan Kelautan 13 Iklim 14 Jenis Tanah dan Tata Guna Lahan 14 Karakteristik Kependudukan; Jumlah dan Pola Sebaran Penduduk 14 Komposisi Penduduk 15 Pola Pergerakan Penduduk 15 viii Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera Utara Pertumbuhan Penduduk 15 Sosial dan Budaya Sumatera Utara 15BAB 3 JELAJAH IDENTIFIKASI ARSITEKTUR DI SUMATERA UTARA 17 Arsitektur Melayu 17 Arsitektur Karo 33 Arsitektur Batak Toba 62 Arsitektur Mandailing 103 Arsitektur Simalungun 132 Arsitektur Pak-pak Dairi 150 Arsitektur Nias 158PENUTUP 189DAFTAR PUSTAKA 193TENTANG PENULIS 197-oo0oo- Latar BelakangIndonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan yang beraneka ragam, sejalan dengan itu, bangunan-bangunan terutama rumah adat yang bersifat tradisional sangat beraneka ragam pula, mulai dari bentuk yang sederhana hingga yang berbentuk unik, baik berdiri sendiri maupun yang berkelompok, masing-masing mempunyai ciri khas arsitektur tradisional, tercermin kepribadian masyarakat tradisional, artinya bahwa arsi-tektur tradisional tersebut terpadu dalam wujud ideal, sosial, material dan kebudayaan. Di Sumatera Utara terdapat beberapa bentuk arsitektur tradisional diantaranya Batak Toba, Batak Karo, Pak-pak Dairi, Batak Simalungun, Mandailing, Melayu dan Nias. Satu dengan lainnya terdapat perbedaan, hal ini di sebabkan oleh pengaruh lingkungan kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat masing-ma-sing daerah. Sejalan dengan pelestarian adat istiadat dan kebudayaan suatu daerah, maka bersamaan dengan kegiatan tersebut, pelestarian dan perawatan juga dilakukan terhadap bangunan-bangunan tradisionalnya terutama rumah-rumah adatnya. Menyadari bahwa sisa-sisa arsitektur tradisional dikhawatirkan akan mengalami kepunahan maka perlu dilakukan suatu pendataan atau inventarisasi untuk dapat membuat suatu rekaman dari bangunan-bangunan sekaligus melakukan usaha pelestari-an dan perawatan terhadap bangunan-bangunan tradisional tradisional adalah merupakan cerminan sosial dan kehidupan masyarakat suatu dae-rah. Arsitektur tradisional disini juga meliputi arsitektur yang tumbuh dari masyarakat suatu komu-nitas tertentu. Selanjutnya tentu saja nilai sosial dan kehidupan masyarakat akan sangat ditekankan sebagai kajian yang mendasar. Hal ini merupakan gambaran bagaimana karya arsitektur sebagai produk budaya erat sekali dengan keadaan pola kehidupan sosialnya. BAB 1PENDAHULUAN 2 Arsitektur dan Sosial Budaya Sumatera UtaraMichael Foster 1989, berpendapat bahwa arsitektur suatu komunitas masyarakat lebih meru-pakan cerminan kehidupan bersamanya berkaitan pada tempat dan waktu tertentu, bila dibanding-kan dengan hasil yang berupa Alasan kuat Michael Foster mengemukakan hal ini terlihat dari pendapatnya kemudian yaitu bahwa setiap disain merupakan usaha yang keras dalam meng-hasilkan bentuk bangunan dengan memperhatikan konteks lingkungan dimana bentuk tersebut ha-dir. Konteks lingkungan ini akan diserap oleh arsitek penggubah/perencana dengan pengalaman dan ide-ide yang saat ini arsitektur telah berkembang dengan pesatnya, sehingga perlu kiranya kita melihat kembali kejadian yang telah tercapai/ terbentuk tersebut. Dalam kondisi semacam ini ada pemikiran untuk melihat kembali arsitektur dari suatu aspek yang mempunyai kontribusi pada pembentukan arsitektur itu sendiri. Ditinjau dalam sebuah konteks yang utuh, bentukan arsitektural tidak ditentu-kan oleh satu aspek saja, akan tetapi ditentukan oleh banyak aspek. Hal ini seperti yang diungkapkan Rapoport 1969, bahwa bentukan arsitektur khususnya hunian tidak ditentukan oleh satu aspek saja, namun baik aspek phisik lingkungan maupun aspek sosio-kultural sebagai faktor utama dalam pengembangan bentuk arsitektural. Sedangkan menurut Steadman 1979 kondisi spesik dari ling-kungan, baik geogra maupun iklim, akan merupakan salah satu pembentuk bentukan yang spesik pula pada bangunan, dan ini biasanya teramati dengan mudah pada bangunan vernakular/tradi sional konteks yang ada sangat sederhana, sehingga intervensi manusia akan terlihat langsung pada bentuk. Proses mencoba dan salah trial and error merupakan bentuk intervensi manusia dalam jangka wak-tu cukup panjang, oleh karena itu sering di dalam perkembangannya terjadi interaksi yang berkelan-jutan antara rancangan yang tumbuh growing design dan lingkungannya Santosa, 1997.Arsitektur vernakular/tradisional merupakan suatu bentukan arsitektur yang mempunyai adap-tasi alamiah pada lingkungan natural, sehingga arsitektur vernakular/tradisional mempunyai tingkat keharmonisan yang tinggi dengan yang ada di daerah Sumatera Utara merupakan salah satu gugus ke-budayaan yang ada di Indonesia sangat berpotensi untuk diamati. Pengaruh kebudayaan terhadap terbentuknya suatu karya Arsitektur mengakibat beragamnya bentuk-bentuk karya arsitektur dalam wujud bangunan yang menyebar mulai dari perbatasan Nanggroe Aceh Darussalam hingga perba-tasan Sumatera Barat banyak memiliki berbagai keunikan dari berbagai bentuk mulai dari rumah ting-gal hingga beberapa bangunan pelengkapnya. Selain itu ada satu beberapa keunikan bahwa ada satu daerah di Sumatera Utara yang terpisah dari daerah lain yaitu daerah Nias yang mempunyai budaya yang lain dibandingkan kebudayaan yang ada pada daerah lain di Sumatera Utara dan sekitarnya misalnya Batak, Mandailing, Karo, Minangkabau dan Mentawai. Namun seluruh daerah atau kebu-dayaan yang ada di Sumatera Utara merupakan suatu warisan peninggalan sejarah, budaya bangsa 1. Michael Foster, “The Principles of Architeture”, hal 82. Michael Foster hal 9 ... Revitalisasi yang dimaksud dalam kajian ini adalah yang berkaitan dengan penguatan identitas budaya Melayu di Kota Medan. Melayu Kota Medan bagian dari etnik Melayu Sumatera Timur atau sekarang disebut Sumatera Utara, yang membentang sepanjang pesisir timur mulai dari Langkat sampai Labuhan Batu Simanjuntak, 2010 Wahid dan Alamsyah, 2013;Sirait, 1980, sesuai dengan rujukan bentuknya. Motif ragam hias ini dikembangan dalam bentuk deformasi dan distorsi. ...... Adapun yang dirujuk dari bentuk binatang, didistorsi atau diabstraksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi mencitrakan binatangnya, hanya kesannya saja yang tinggal. Hal ini sesuai dengan larangan dalam agama Islam untuk memvisualkan bentuk dari mahluk bernyawa Wahid dan Alamsyah, 2013;Sirait, 1980. Ragam hias Melayu yang dikenal diantaranya 'sinar matahari pagi', 'roda bunga', 'roda sula', 'naga berjuang', 'terali biola', jala-jala', pucuk rebung', ricih wajid', lebah begantung', 'tumpuk pinang', 'genting tak putus', 'pelana kuda kencana', 'bunga matahari', dan yang lainnya Sirait, 1980. ...Etnik Melayu kaya dengan kesenirupaannya, khususnya dalam bentuk ragam hias. Secara tradisi, ragam hias Melayu banyak terungkap melalui arsitekturnya, di samping pada produk pakai lainnya. Yang menarik sekarang adalah adanya trend penerapan ragam hias tradisional Melayu pada bangunan modern di Kota Medan, Indonesia. Artikel ini mengkaji, sejauhmana identitas Melayu kembali menguat di Kota Medan. Selain itu, artikel ini juga mengkaji bagaimana potensi teknis dan estetis yang terkandung dalam karakteristik ragam hias Melayu. Pembahasan dilakukan melalui pendekatan sosiologi seni dan metode visual cultural. Hasil kajian menunjukkan bahwa 1 Bentuk dan karakteristik ragam hias Melayu yang banyak diterapkan pada bangunan modern di Kota Medan merujuk pada bentuk pucuk rebung, ricih wajid,lebah begantung, terali biola, bidai, dan tampuk pinang; 2 Potensi teknisnya didukung oleh karakteristik ragam hias Melayu yang berbentuk terawang, dan potensi estetisnya terungkap melalui bentuk permukaan yang rata dengan garis motif yang tajam; dan 3 Identitas Melayu melalui penerapan ragam hias terungkap pada bangunan perkantoran, tempat umum, lokasi wisata, dan fasilitas IdamanShanty SilitongaYulianto QinLingga Village is a tourist village that is well known as a traditional Karo tourism village and has become a major tourism destination in North Sumatra Province. This village still has a legacy of traditional Karo architecture. In ancient times this Lingga village had 80 units of traditional houses. During holidays, tourists visiting this village can reach as many as 300 people from within the country and from abroad. Currently in Lingga Village there are only two units of the Karo Traditional House. The purpose of this research is to model the village pattern of Lingga village based on interview about village’s history. The formulation of the problem that is the focus of this research are; how was the pattern of the villages, how was the orientation of the Karo Traditional House in Lingga Village in the past, how was the circulation of Lingga Village villages in the past. The research method used in this study is the simulation by modeling method. The primary data collection consisted of observing, documenting, and conducting interviews with informants from Lingga Village. Secondary data collection consists of books and journals about Lingga Village. The final result of this research is the model of the pattern of Lingga village based on history. The model focuses on house orientation, circulation patterns and types of traditional houses in Lingga Taufik HasibuanMisgiya MisgiyaAbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengatahui macam-macam bentuk, warna ornamen Mandailing yang diterapkan pada rumah adat di Desa Pidoli Dolok Kecamatan Panyabungan, untuk mengetahui sejauh manakah penerapan ornamen Mandailing pada rumah adat di Desa Pidoli Dolok ditinjau dari bentuk, warna dan tata letak. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi lapangan, wawancara dan dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah 12 jenis ornamen Mandailing yang diterapakan pada rumah adat di Desa Pidoli Dolok Kecamatan Panyabungan, yang terdiri dari 1 jenis motif geometris, 5 jenis motif teknis, dan 1 jenis motif kosmos bona bolu, bindu, dan 1 jenis motif ornamen sebagai pengisi bidang saja. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan ornamen Mandailing pada rumah adat di Desa Pidoli Dolok Kecamatan Panyabungan mengalami beberapa perubahan dari ornamen tradisional Mandailing. Tepatnnya pada bentuk ornamen, jumlah ornamen, warna ornamen, dan penerapan ornamen. Perubahan tersebut terjadi karena penyesuaian pada bentuk arsitektur Tutup Ari rumah adat Mandailing di Desa Pidoli Dolok Kecamatan Panyabungan. Kata Kunci ornamen, tradisional, study aims to determine the various shapes, colors of Mandailing ornaments applied to traditional houses in Pidoli Dolok village, Panyabungan district, to find out the extent to which the application of Mandailing ornamentation to traditional houses in the village of Pidoli Dolok is in terms of shape, color and layout. The research method used is descriptive qualitative. Data collection techniques used were field observations, interviews adn documentation. The population in this study were 12 types of Mandailing ornaments applied to traditional houses in Pidoli Dolok village, Panyabungan district, consisting of 1 type of geometric motif, 5 types of technical motifs, 1 type of cosmos motifs bona bolu, bindu, and 1 type of ornamental motifs as fillers only. The results of this study indicate that the applicationof Mandailing ornaments to traditional houses in Pidoli Dolok village, Panyabungan district has undergone several changes from Mandailing traditional ornaments. Precisely on the shape of the ornament, the amount of ornament, the color of the ornament and the application of the ornament. The change occured because of adjustments to the architectural shape Tutup Ari of the Mandailing traditional houses in Pidoli Dolok village, Panyabungan ornaments, traditional, Dinda MustikaFuad ErdansyahThis study aims to determine the extent of the application of traditional Karo ornaments which include the application, shape changes, and color changes in the Karo Regent Office building in Karo Regency. The population in this study were all ornaments found in the Karo Regent Office Building total sampling of 14 types of ornaments. This study uses a descriptive qualitative analysis approach based on the study of symbolic and Karo cultural philosophies. The results explained that the shape, color, and placement of the gerga no longer follow the rules based on the traditional placement of Karo. In Karo culture, gerga occupy structured fields in the traditional Karo house starting from the bottom profane, middle semi-sacred, and the top sacred. In the upper part of the Karo Regent Office Building Ayo-Ayo the placement of the Gerga is in accordance with the Karo Traditional rules but not in the Derpih wall and Melmelen kitchen bar sections as well as the shape proportion changes and inconsistent color placement. . The conclusion of this study is that the ornaments that exist in the Karo Regent Office Building are used as decoration and aesthetic needs profane as a cultural identity of Karo, with the finding of a discrepancy in the placement of Karo ornaments based on the principle of ornamentation in the traditional Karo house. It is recommended that the placement, shape and color follow the ornamental principles found in the Karo traditional has not been able to resolve any references for this publication.
Ragamhias geometris ini dijumpai hampir diseluruh wilayah Indonesia seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Mulanya, ragam hias ini berupa motif guratan mengikuti bentuk benda yang dihias. Kemudian, ragam hias dikembangkan sebagai motif ukiran, pahatan, dan cetakan. Ragam Hias Flora. Ragam hias flora menggunakan figur tumbuhan Origin is unreachable Error code 523 2023-06-15 235920 UTC What happened? The origin web server is not reachable. What can I do? If you're a visitor of this website Please try again in a few minutes. If you're the owner of this website Check your DNS Settings. A 523 error means that Cloudflare could not reach your host web server. The most common cause is that your DNS settings are incorrect. Please contact your hosting provider to confirm your origin IP and then make sure the correct IP is listed for your A record in your Cloudflare DNS Settings page. Additional troubleshooting information here. Cloudflare Ray ID 7d7ec40d1fec0eae • Your IP • Performance & security by Cloudflare .rb65p0i3ow.pages.dev/205 rb65p0i3ow.pages.dev/8 rb65p0i3ow.pages.dev/202 rb65p0i3ow.pages.dev/116 rb65p0i3ow.pages.dev/903 rb65p0i3ow.pages.dev/994 rb65p0i3ow.pages.dev/713 rb65p0i3ow.pages.dev/105 rb65p0i3ow.pages.dev/987 rb65p0i3ow.pages.dev/172 rb65p0i3ow.pages.dev/514 rb65p0i3ow.pages.dev/555 rb65p0i3ow.pages.dev/417 rb65p0i3ow.pages.dev/186 rb65p0i3ow.pages.dev/327 motif ragam hias sumatera utara
![]()